Sungai Ciliwung memang terkenal dengan potensi banjirnya sejak dulu. Namun, kerawanan itu bertambah parah sejak 2001.
Pada tahun itu, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) merilis foto satelit mengenai perubahan penggunaan lahan di Bogor, terutama di daerah tangkapan air (catchment area) hulu Sungai Ciliwung, dari kawasan hijau yang diisi vegetasi menjadi kawasan terbangun. Setahun kemudian, banjir besar melanda Jakarta dan sekitarnya.
Data LAPAN, kawasan terbangun di daerah itu, yang pada 1992 hanya 101.363 hektar, pada 2006 naik dua kali lipat menjadi 225.171 hektar. Sedangkan kawasan tidak terbangun yang semula 665.035 hektar menyusut menjadi 541.227 hektar.
Menurut Bambang S Tedjasukmana, Deputi Bidang Penginderaan Jauh LAPAN, di Bogor, permukiman meluas di sepanjang daerah tangkapan air Sungai Ciliwung. Limpahan penduduk dan aktivitas dari Jakarta menyebabkan perumahan, kawasan jasa dan perdagangan, serta industri terus menyebar ke Citeureup, sampai ke Depok.
Di hulu, air hujan yang seharusnya terserap ke tanah justru mengalir ke sungai. Tidak ada lagi pepohonan yang menyimpan air di dalam tanah. Tidak ada lagi tanah yang terbuka untuk menyimpan air.
Kawasan yang semula diperuntukkan untuk kawasan hijau telah berganti fungsi karena tuntutan perkembangan ekonomi kota. Fungsi konservasi lingkungan tidak lagi diperhatikan.
Di hilir, daerah aliran sungai yang masuk ke Jakarta pun dipadati oleh rumah-rumah penduduk dan bangunan lainnya. Bahkan, beberapa bagian badan sungai menyempit karena banyaknya rumah yang didirikan di atas sungai.
Pengamatan Kompas, Sungai Ciliwung yang dulu lebarnya mencapai 40 meter, kini menyempit antara 13 meter sampai 20 meter. Kedalaman sungai di beberapa lokasi juga tinggal dua meter.
Dengan kondisi itu, hujan dengan intensitas sedang di kawasan hulu atau bahkan hujan di dalam Kota Jakarta pun akan membuat Sungai Ciliwung langsung meluap. Banjir pun tidak terhindarkan di Jakarta.
Langkah terintegrasi
Menurut peneliti hidrologi dan rekayasa lingkungan Universitas Indonesia, Firdaus Ali, masalah banjir yang kompleks dari hulu sampai hilir membutuhkan penanganan yang terintegrasi, dari hulu sampai hilir juga.
“Menangani banjir di hilir tanpa memperbaiki kawasan hulu akan menjadi pekerjaan sia-sia karena limpahan air banjir dari hulu akan selalu lebih besar dari daya tampung sungai,” ujarnya.
Pada kondisi normal, kata Firdaus, debit air yang masuk Sungai Ciliwung sampai di Pintu Air Manggarai mencapai 28 meter kubik per detik. Sedangkan pada saat hujan lebat dan banjir, debit air melonjak sampai 200 meter kubik per detik.
Fluktuasi debit air yang sangat tajam itu menandakan rendahnya daya serap air di hulu dan kecilnya daya tampung di hilir.
Menanggapi kondisi itu, Kepala Dinas Pekerjaan Umum DKI Jakarta Wisnu Subagyo Yusuf mengemukakan, perbaikan kawasan hulu dengan reboisasi atau pembatasan pengalihan penggunaan lahan sulit dilakukan. Otonomi daerah membuat pemerintah kabupaten dan kota di kawasan hulu lebih memilih peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) dari pemberian izin untuk perumahan atau kawasan komersial.
Oleh karena itu, ujar Wisnu, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta mengajukan dua usul pencegahan banjir di hulu. Kedua usulan itu adalah sudetan Sungai Ciliwung yang dihubungkan ke Sungai Cisadane dan membangun bendungan Ciawi di hulu Sungai Ciliwung. Kedua usulan itu bertujuan untuk mengatur debit air yang akan masuk ke hilir Sungai Ciliwung.
Sudetan Sungai Ciliwung ke Sungai Cisadane dimaksudkan untuk mengalihkan debit air banjir Ciliwung ke sungai yang mengalir ke Tangerang itu. Daerah resapan air Cisadane yang relatif masih hijau dan badan sungai yang belum menyempit dinilai sanggup menampung limpahan air banjir dari Sungai Ciliwung.
Sayangnya, proyek yang rencananya akan didanai oleh Jepang itu ditolak oleh para pemuka masyarakat dan Pemerintah Kota Tangerang. Tanpa dilimpahi air dari Ciliwung, Sungai Cisadane pun sering menimbulkan banjir di Tangerang. Mengingat otonomi daerah, Pemprov Jakarta tidak dapat memaksakan kehendaknya dan rencana itu batal.
Rencana membangun bendungan Ciawi juga gagal. Pemprov DKI Jakarta yang bersedia membayar Rp 200 miliar untuk pembebasan lahan seluas 200 hektar justru tidak dapat menggunakan dananya. Dana APBD tidak dapat digunakan untuk pembangunan di luar wilayah administrasi, kecuali diberikan dalam bentuk hibah ke Pemerintah Kabupaten Bogor.
Namun, karena tidak ada jaminan dari Pemerintah Kabupaten Bogor untuk menggunakan dana hibah guna membangun bendungan Ciawi, rencana itu akhirnya tidak pernah terwujud.
Di sisi hilir, kata Wisnu, Jakarta sangat mengandalkan Banjir Kanal Timur. Saluran yang saat ini sedang dalam masa pembebasan lahan diprediksikan dapat menampung limpahan air dari lima sungai utama di Jakarta dan melindungi kawasan seluas 270 kilometer persegi.
Banjir Kanal Timur akan melengkapi Banjir Kanal Barat untuk menampung air dari 40 persen wilayah Jakarta yang lebih rendah dari permukaan laut. Air itu akan dialirkan dengan cepat ke laut dengan menggunakan sistem polder dan pompa.
Solusi
Direktur Tata Ruang dan Perumahan Bappenas Salysra Widya mengutarakan, permasalahan egoisme wilayah dalam menyusun langkah mengatasi banjir dapat dijembatani oleh pemerintah pusat. Jakarta, Bogor, Depok, dan Tangerang dapat duduk bersama dengan pemerintah pusat untuk merealisasikan ide rekayasa sungai dan pembatasan peralihan penggunaan lahan di kawasan daerah resapan air.
Namun, Pemprov DKI Jakarta perlu memberikan kompensasi tertentu kepada pemerintah-pemerintah daerah yang bersangkutan agar mereka tetap dapat memperoleh PAD jika menjalankan rencana itu. Dengan demikian, semua daerah saling diuntungkan meskipun Jakarta harus mengeluarkan dana besar untuk itu.
Solusi di hulu harus berkesinambungan, antara pembatasan penggunaan lahan, reboisasi intensif, dan pembangunan bendungan. Jika hanya satu langkah yang dilaksanakan, langkah lain akan menjadi kurang efektif.
Di hilir, selain pembuatan Banjir Kanal Timur, Firdaus mengusulkan pembuatan penampungan air bawah tanah dalam skala besar atau deep tunnel reservoir. Penampungan air bawah tanah, seperti yang diterapkan Chicago (Amerika Serikat) dan Singapura mampu menampung sekitar 200 juta meter kubik air dan dapat bertahan 125 tahun.
Ide penampungan air bawah tanah adalah menampung semua limpahan air banjir dan limbah cair dari sanitasi lingkungan ke dalam bendungan bawah tanah. Air tampungan itu dapat diolah dan digunakan sebagai cadangan air baku bagi Jakarta.
Saat ini, kata Firdaus, Indonesia menghadapi perubahan iklim akibat pemanasan global. Perubahan iklim tersebut menyebabkan musim hujan lebih pendek, tetapi curah hujan lebih tinggi.
Jika air tersebut tidak disimpan dalam penampungan yang besar, Jakarta akan terancam kekeringan dan banjir dalam waktu yang bergantian sepanjang tahun. Bencana yang akan semakin memiskinkan Indonesia.
Biaya pembuatan penampungan air bawah tanah itu, menurut Firdaus, diperkirakan “hanya” memerlukan Rp 12 triliun. Jumlah tersebut masih terjangkau oleh APBD DKI Jakarta 2007 yang mencapai Rp 21,5 triliun.
No comments:
Post a Comment