Kisah ini pernah cukup populer tetapi saya sendiri tidak ingat lagi di mana untuk pertama kalinya kisah itu saya baca. Konon, di suatu jalan di depan sekolahan terdapat dua toko permen. Keduanya menjual jenis-jenis permen yang persis sama. Tetapi toko yang satu selalu pernuh dengan anak-anak yang berebutan membeli permen. Toko lainnya hampir tidak ada pembelinya. Para calon salesmen atau SPG disuruh mengamati mengalami sampai terj adi gejala aneh seperti itu.
Sebagai hasil pengamatan ternyata pemilik toko yang ramai itu sangat pintar aritmatika dalam hal tambah menambah. Sedangkan pemilik toko yang lainnya juga sangat pintar aritmatika tetapi dalam hal kurang mengurang.
Pemilik toko permen yang ramai itu selalu mulai menimbang dalam dengan jumputan kecil. Kemudian ia terus menambahkan permennya sehingga dacingnya seimbang. Set elah seimbangpun ia masih menambahkan pula satu dua permen sehingga dacingnya berat ke sebelah permen daripada ke sebelah batu timbangan.
Sebaliknya pemilik toko yang lain selalu mulai dengan sejumputan besar permen. Kemudian ia mengurangi permen itu sedikit demi sedikit sampai akhirnya dacingnya seimbang.
Selain daripada itu penjual permen yang murah hati itu juga murah senyum, senang bercanda, sehingga langsung disukai anak-anak. Lawannya seorang yang kikir senyum, bermata curiga dan bermulut kerang.
Ternyata pemilik toko yang satu memahami benar psikologi anak kecil. Anak-anak itu gembira setiap kali menyaksikan permennya ditambah dan ditambah. Bahkan sudah setimbangpun masih diberi kelebihan pula. Sedangkan lawannya kurang memahami psikologi anak kecil. Mereka melihat permen pada awalnya begitu banyak. Tetapi setiap kali dikurangi hati mereka menj adi ciut dan semakin ciut. Walaupun akhirnya dacingnya setimbang tetapi kesan setiap kali permennya dikurangi itu terus membekas di hati anak-anak. Sama sekali tidak ada kegembiraan berbelanja di sana . Sebaliknya di toko yang lain itu selain sudah seimbang masih diberi tambahan bonus lagi beberapa butir permen.
Bagi saya filosofi pedagang permen yang laris itu bukan sekedar masalah memahami psikologi anak saja. Ia mengajarkan kepada saya bahwa nilai kemurahan hati lebih baik dan sekaligus lebih
menguntungkan dibandingkan dengan nilai ke adi lan yang normatif. Kapanpun dan di manapun orang lebih menyukai dan menghargai kemurahan hati dibandingkan dengan keadilan. Hal ini juga berlaku dalam manajemen. Perusahaan yang murah hati dalam ’social benefits’ ternyata lebih dicintai oleh para karyawannya. Mereka mengalami turn over karyawan yang lebih rendah
dibandingkan perusahaan yang membayar pas menurut syarat-syarat UMR.
Bahkan seandainya upah nominal resmi mungkin lebih kecil sedikit dengan perusahaan-perusaha an lainnya mereka memilih untuk tidak pindah kerja. Ada kelompok perusahaan besar yang memberikan tunjangan kendaraan kepada para karyawannya selepas mereka bekerja sekian
(misalnya tiga) tahun. Entah itu berupa mobil, sepeda motor atau sekalipun hanya sekedar sebuah sepeda bagi para karyawannya (tukang sapu, janitor, OB dsb) tetapi ada suatu kepastian. Kepastian ini yang sangat dihargai oleh para karyawannya. Kemudian setelah mereka bekerja sekian (misalnya lima atau enam) tahun pasti diberikan tunjangan perumahan. Sekalipun itu merupakan kredit KPR atau RSS atau hanya dalam bentuk kaveling tanah 15 M2 sekalipun. Yang menarik karyawan adalah kepastian mendapat tunjangan fisik perumahan itu sendiri.
Demikian pula tentunya dengan kepastian fisik lainnya seperti saham kosong, kepemimpinan pada anak perusahaan, dana pensiun, dana ziarah dsb.
Kisah sederhana dua pedagang permen itu juga memberikan inspirasi tentang perang gerilya dalam pemasaran produk. Dalam kasus seperti yang pernah saya alami di mana kami harus bersaing dengan produk impor juga demikian. Kita mengalami “absolut disadvantages” atau bahasa sederhananya situasi kalah total. Situasi mentimun lawan durian di pasar. Sama seperti gerilyawan melawan pasukan konvensional, j adi harus pintar-pintar mencari akal bulus dan harus menang cerdik.
Dalam hal ini analogi dengan pedagang permen t adi diibaratkan posisi kuat pesaing itu sebagai batu timbangan. Sedangkan kemampuan kreativitas sendiri sebagai jumputan permen. Kemenangan hanya ditentukan oleh butir permen terakhir yang membuat sisi permen lebih berat dibandingkan dengan sisi batu timbangan. Karena perusahaan kecil tidak mampu memberikan service ‘ serba wah ‘ (batu besar) kepada para pelanggan maka strateginya harus memperbanyak batu kerikil (atau permen) sehingga piring dacingnya /njomplang.
Dalam “corporate social responsibility” kemenangan ditentukan oleh service kecil terakhir yang diberikan kepada para pelanggan. Entah cuma berupa perbaikan atap sekolah SD di dekat pabrik, memperbaiki jembatan, mengaspal jalan, menambah lampu jalan, mensupply air bersih gratis kepada surau terdekat, dsb.
Intinya sebenarnya sederhana saja. Berikan kepada konsumen service berupa apa yang mereka dambakan dan bukannya apapun yang kita ingin berikan kepada mereka. Dalam pergaulan sosial juga demikian.
Madu yang kita tawarkan bila tidak diinginkan akan dianggap tidak berbeda dengan racun. Sebaliknya bila yang diinginkan hanya sekedar tempe bacem dan sayur asem, maka steak yang kita tawarkan dengan gratis juga akan kurang diapresiasi.
No comments:
Post a Comment