Suatu kali tanpa direncanakan saya bersama dua teman menonton pentas tari jaipong. Hal ini terjadi karena ada tetangga jauh berasal dari Tanah Sunda. Ketika punya hajat mengawinkan anak, tetangga ini mengundang kelompok tari jaipong dari tanah asalnya.
Pada saat kondangan itulah kami bertiga untuk kali pertama menyaksikan tarian yang punya kemiripan dengan tarian silat namun digubah menjadi gerak yang sangat feminin dan, ya, amat erotik. Apalagi para penari yang masih remaja itu berkain dan berkebaya ketat serta bersanggul tinggi. Ditambah dengan iringan gendang yang dinamik, maka pentas jaipong itu menjadi ajang para lelaki bersenam jantung.
Karena umur yang mulai masuk manula, saya merasa agak canggung. Rasanya kurang enak menatap gerakan-gerakan yang menggedor-gedor kelelakian di sana. Demikian teman saya yang pertama. Mungkin dengan alasan yang sama seperti saya, dia lebih banyak menunduk atau pura-pura melihat apa-apa di arah samping. Namun lain halnya dengan teman saya yang kedua. Dia nyaris tak pernah berhenti menatap tiga penari jaipong yang memang, dengan bahasa tubuh yang sangat terlatih, sengaja menggoda mata lelaki. Apakah karena masih jauh lebih muda dari saya dan teman pertama?
Ternyata dugaan saya ada benarnya, tapi lebih banyak salahnya. Dalam perjalanan pulang kami bertiga terlibat percakapan yang hangat. Percakapan justru dimulai oleh teman kami yang muda itu.
"Tadi kulihat kalian berdua seperti tidak suka melihat tari jaipong?" Saya agak terkejut mendapat pertanyaan ini karena merasa ada sesuatu yang tertebak dengan jitu oleh seorang yang masih muda. "Ah, saya tahu. Kalian canggung sebab bisa dikatakan tidak tahu diri. Sudah tua cengar-cengir nonton jaipong. Iya kan?"
Saya dan teman pertama hanya menjawab dengan tertawa ringan. Tetapi si teman muda terus mengejar dengan pertanyaan lain. "Dan bukan hanya karena canggung; kalian juga menjaga mata dari maksiat. Iya kan?"
"Sudah gaharu cendana pula; sudah tahu bertanya pula," jawab teman pertama sambil berjalan.
"Alhamdulillah. Semoga mata kalian selalu terjaga. Namun saya punya pertanyaan berkaitan dengan sikap kalian. Begini. Kita pasti yakin akan kebenaran ajaran bahwa ke manapun kita memandang maka kita tidak akan melihat sesuatu melainkan wajah Tuhan. Nah, apakah tadi kalian bisa merasakan adanya wajah Tuhan pada diri para penari jaipong itu atau pada gerakan-gerakan mereka?"
Saya hampir berhenti melangkah. Jujur, pertanyaan anak muda ini tidak mudah dijawab. Pertanyaan ini berkaitan dengan pemahaman iman yang sangat mendalam. Padahal saya tidak pernah belajar agama secara khusus dan serius. Teman saya yang satu lagi juga seperti saya. Maka dia pun tidak bisa menjawab pertanyaan si anak muda dengan segera. Namun saya penasaran kalau tidak bisa mengimbangi anak muda itu. Maka saya balik bertanya.
"Kamu sendiri bagaimana? Apakah ketika menatap para penari dengan mata penuh nafsu itu kamu sedang merasakan kehadiran wajah Tuhan? Atau nafsumu sedang tertantang?"
Ah, anak muda ini cengar-cengir, lalu menjawab dengan enteng. "Ya, antara keduanya. Saya masih muda dan bukan malaikat. Jadi jantung saya memang berdegup agak lebih cepat ketika para penari jaipong itu menggoyang pundak atau melirik nakal. Namun perasaan itu menyingkir sendiri ketika ada kesadaran lain masuk ke kepala saya."
"Kesadaran apa?" tanya saya.
"Ya. Begini. Saya bayangkan ketiga penari itu telanjang bulat. Lalu kesadaran itu berbisik begini: Ketiga tubuh telanjang yang menari itu adalah benda mati yang terdiri atas sekian triliun molekul air, fosfor, protein, dsb. Triliunan molekul itu terorganisasi demikian canggih dan menyatu membentuk sosok hidup yang punya kesadaran dan kini menari di hadapanmu. Sosok itu indah dan kamu diberi kemampuan untuk mengapresiasi keindahan itu. Dan seterusnya terserah kamu."
Sepi. Kami bertiga diam sehingga yang terdengar tinggal suara langkah tiga pasang kaki. Dan karena terus sepi maka saya buka mulut lagi.
"Terserah bagaimana?"
"Ya, keindahan sosok, keindahan gerak, maupun keindahan suara penari jaipong itu akan kita apakan. Biasanya keindahan itu kita tampung dalam wadah yang bernama sensasi. Dan bila diperturutkan sensasi ini akan membakar adrenalin. Birahi. Tapi ini pun sangat manusiawi. He-he-he."
"Kemungkinan lain?" kejar saya.
"Yah, ini jarang dilakukan orang. Yakni mengapresiasi keindahan sosok dalam wadah yang bernama nalar. Inilah yang diajarkan oleh Imam Syafi'i ketika beliau mengatakan, apa pun yang kalian lihat dengan perasaan takjub adalah tanah. Sayang, wadah nalar sudah sangat jarang kita pakai. Sebaliknya, sensasi sudah sangat menguasai kehidupan kita. Tentang tubuh misalnya, semuanya dibangun dan dibiayai untuk memenuhi kepuasan sensasi; kulit, rambut, bentuk, gerak, dst. He-he-he."
"Kamu bisa saja! Dan kamu tadi tertawa-tawa ketika menatap si penari jaipong. Kenapa?"
"Ya tidak apa-apa. Saya hanya membayangkan mata saya punya kekuatan tembus seperti sinar rontgen, maka saya tampak di sana bukan gadis-gadis remaja cantik yang sedang berjaipong melainkan tiga kerangka manusia yang bergerak-gerak, dan pasti sama sekali tidak erotis."
Ah, anak muda ini boleh juga. Saya jadi malu. Dan tawanya yang terakhir malah membuat saya terus merenung ketika saya sudah sampai di rumah. Saya telah diberitahu olehnya bagaimana cara belajar melihat wajah Tuhan
Jan 25th, 2007 by Rakhmat Arief Sumber Republika 22 Januari 2007 Kolom Resonansi : Ahmad Tohari
No comments:
Post a Comment