Donal bebek selalu sial, kenapa si Untung selalu beruntung?
Luck factor. Faktor keberuntungan. Hoki. Untung. Bejo.
Inilah sebutan untuk kejadian misterius yang sering diharapkan orang. Apakah hoki itu memang ada? Kalau ya, apakah kita dapat meningkatkan faktor keberuntungan diri kita?
Pertanyaan semacam itulah yang menggerakkan Profesor Richard Wiseman, psikolog dari University of Hertfordshire, Inggris, untuk meneliti perbedaan antara mereka yang sering beruntung dan mereka yang selalu sial.
Masalah pertama adalah tentang pertanda-pertanda sial seperti angka, lokasi tangga dan sebagainya. Penelitian organisasi survey Gallup terhadap 1000 orang Amerika apakah mereka percaya dengan hal-hal yang mistik menunjukkan bahwa 53% agak percaya, 25% sangat percaya. Survey lainnya menghasilkan data bahwa 72% orang di Amerika percaya dengan minimal memiliki sebuah jimat.
Namun tak dapat dipungkiri bahwa beda budaya beda pula sumber peruntungannya. Angka 13 yang bagi orang barat adalah sesuatu yang membawa kesialan, ternyata tidak berlaku bagi orang Cina yang lebih percaya bahwa angka 4 lah pembawa kesialan. Bagaimana kalau di masyarakat yang tidak mengenal angka berbasis 10? Artinya, kepercayaan tersebut tidak berlaku universal di seluruh dunia, namun terkait dengan kebudayaan tertentu.
Profesor Wiseman melakukan percobaan kecil dengan memberikan jimat kepada sekelompok orang untuk mengetahui efek dari jimat terhadap keberuntungan. Setelah beberapa minggu, dengan membandingkan kondisi sebelum dan sesudah membawa jimat, Wiseman menemukan bahwa tidak ada sama sekali pengaruh jimat. Bahkan beberapa orang menyatakan merasa semakin sial dengan jimat tersebut dan kemudian mengembalikannya.
Akhirnya Wiseman membuat penelitian dengan mengundang 400 orang yang telah dikumpulkan dari pemasangan iklan di koran dan majalah selama setahun. Orang-orang tersebut sebagian adalah orang yang sering beruntung, sebagian adalah ‘pembawa sial’. Umurnya bervariasi dari siswa 18 tahun hingga pensiunan akuntan 84 tahun, pekerjaannya pun bervariasi dari pebisnis, pekerja pabrik, guru, dokter, salesman, hingga pramugari.
Percobaan awal cukup sederhana. Semua diberi koran khusus dan diminta menghitung berapa foto yang ada dalam koran tersebut. Hasilnya luar biasa. Rata-rata mereka yang sial membutuhkan waktu 2 menit, sedangkan kelompok beruntung hanya memerlukan beberapa detik saja. Mengapa bisa demikian?
Wiseman secara sengaja telah menaruh di halaman 2 koran tersebut sebuah tulisan berbunyi “Stop counting - There are 43 photographs in this newspapaer.” Tulisah tersebut mengambil separuh halaman koran dan ditulis dengan huruf lebih dari 2 inci tingginya. Semua orang akan melihat langsung tulisan itu tepat di hadapan mereka. Anehnya mereka yang sial mengabaikan tulisan tersebut! Biar lebih lucu, Wiseman menaruh tulisan yang mirip di halaman lainnya dengan bunyi, “Stop counting, tell the experimenter you have seen this and win $250.” Lagi-lagi mereka yang sial mengabaikannya karena sibuk menghitung foto di sepanjang koran tersebut. Kasihan.
Tes kepribadian menunjukkan bahwa mereka yang sial adalah orang yang relatif lebih tegang dan cemas dibanding mereka yang beruntung. Riset menunjukkan bahwa kecemasan menghentikan kemampuan seseorang dalam memperhatikan sesuatu yang tidak disangkanya. Ketika seseorang bekerja terlalu keras kepada sesuatu, mereka semakin sedikit memperhatikan yang lain. Dan begitulah halnya dengan keberuntungan, mereka yang tidak beruntung sering kehilangan kesempatan untuk beruntung karena mereka ‘terlalu fokus’ mencari hal lainnya. Mereka datang ke pesta untuk mencari pasangan sempurna sehingga luput mendapatkan kawan baik. Mereka membuka koran mencari pekerjaan yang sesuai dengan mereka sehingga luput melihat kesempatan yang lain. Orang yang beruntung lebih santai dan terbuka. Mereka melihat apa yang tersedia dan bukan sekedar mencari apa yang mereka mau.
Penelitian selanjutnya menunjukkan bahwa orang beruntung mempunyai kebiasaan mencari hal-hal baru untuk meningkatkan peluang keberuntungan. Orang yang beruntung mencaoba variasi baru dalam hidupnya. Seorang partisipan sering mencoba rute baru menuju tempat kerjanya. Partisipan lainmengatakan bahwa untuk membuat variasi maka bila dia pergi ke pesta maka dia akan memaksa diri untuk bicara dengan orang berbaju warna tertentu. Misalnya kali ini akan bicara dengan wanita yang berbaju merah, kali lain hanya dengan laki-laki berbaju hitam.
Walaupun mungkin aneh, kebiasaan mencoba situasi baru memungkinkan munculnya peluang baru. Psikolog Stanford Alfred Bandura berkisah tentang pengalaman dirinya. Suatu ketika sebagai mahasiswa S-2 dia merasa bosan dengan tugas-tugas kuliah, maka bersama temannya dia mencoba main golf. Ternyata saat golf mereka bertemu dengan dua gadis cantik yang juga golf. Akhirnya mereka main golf berempat. Setelah itu Bandura mengatur pertemuan kembali dengan salah satu gadis tersebut, dan akhirnya mereka menikah. Kesempatan bertemu di golf mengubah jalan hidup Bandura.
Sesuatu yang baru membuka peluang yang baru. Ini dapat diibaratkan Anda masuk ke sebuah perkebunan apel yang sangat besar. Awalnya akan mudah bagi Anda untuk sembarang masuk dan menemukan apel di sana. Namun lama kelamaan apel di tempat yang sering Anda masuki menjadi semakin jarang, sehingga mendapatkan apel menjadi semakin sulit. Bayangkan Anda untuk mau mencoba wilayah lain kebun tersebut, maka Anda meningkatkan kemungkinan mendapat apel yang lain. Bayangkan selalu bertemu dengan orang yang sama, bicara hal yang sama, pergi ke tempat yang sama, dan melakukan hal yang sama. Tentu peluang yang dihadapi menjadi tetap sama. Pengalaman baru, bahkan bila random, akan meningkatkan potensi menemukan peluang baru.
Filed under: Kecerdasan Spiritual, Kecerdasan Emosi, Kecerdasan Power, Topik Personal
Selamat berkarya …
Have a beautiful day …
Because life is beautiful …
No comments:
Post a Comment