“Kalau saya sih beda! Menurut saya sebaiknya . bla.. bla.. bla..”
Pernahkah Anda bertemu orang yang selalu berpikir beda dengan Anda (juga hampir semua orang lainnya)? Mula-mula kita kagum, tapi lama-lama jengkel juga. Rasanya hanya pendapat dia itu yang benar, sementara pendapat orang lain itu tidak benar, atau paling tidak pasti ada cacatnya. Jadi, berpikir beda itu baik atau buruk?
Think different.
Itulah slogan perusahaan komputer Apple saat meluncurkan bentuk komputer yang beda di akhir tahun 90-an. Komputer yang lazim saat itu adalah sebuah kotak CPU (Computer Processing Unit) yang terpisah dari monitor tabung. Apple bikin yang beda, komputernya berupa sebuah monitor dengan bagian atas yang bening sehingga terlihat komponen di dalamnya. Mana kotak CPU nya? Nggak ada, karena ternyata CPUnya sudah ditempelkan di bagian bawah monitor tersebut, menyatu sehingga tidak terlihat. Komputer iMac ini laku keras luar biasa, dan membuat perusahaan Apple kembali diperhitungkan di pasar PC.
“Jadi berpikir beda itu perlu?” Tunggu dulu.
Apple berbeda dengan perusahaan lainnya. Namun andai Anda adalah karyawan Apple saat itu, bisakah Anda berpikir beda? Belum tentu. Paling tidak Anda harus ikut kemauan pimpinan di Apple yang waktu itu adalah Steve Jobs, seorang visioner yang juga otoriter dalam menerapkan visinya. Kalau Anda beda dengan dia, siap-siap saja untuk ditendang keluar. Apple itu berpikir beda dari perusahaan komputer lainnya, tapi berpikir sama di dalam perusahaannya.
“Jadi kapan kita perlu berpikir beda?” Nah, ini baru pertanyaan yang benar.
Kita perlu berpikir beda bila kita berada dalam suasana bebas sederajat, dimana semua perbedaan mendapat penghargaan sama. Biasanya suasana ini ada dalam proses kreatif (brainstorming misalnya), proses penciptaan. Selain itu : jangan berpikir beda!
Believe me, berpikir beda di suasana selain suasana kreatif ternyata berakibat tidak menguntungkan. Secara alami, tidak ada manusia yang menyukai perbedaan. Pepatah mengatakan, “Birds of a feather flock together.” Burung dengan bulu yang sama kumpul bersama. Kalau Anda sering beda dengan rekan-rekan Anda, pelan tapi pasti Anda akan disingkirkan. Dan itu yang saya lihat dari pengalaman selama ini. Apalagi, kalau Anda sering berbeda dengan atasan Anda terutama di rapat-rapat. Mungkin beliau hanya tersenyum pada Anda, dan besoknya Anda dipindahtugaskan. Kita bisa berbeda dengan kompetitor, tapi harus sama dengan grup kita.
Loh, bukannya buku-buku menyarankan agar kita berpikir beda? Bukankah guru-guru manajemen juga menyarankan agar perusahaan menumbuhsuburkan iklim beda pendapat? Justru itu. Karena beda pendapat itu bukan hal yang alami, maka guru-guru manajemen berteriak-teriak agar perusahaan menghargai perbedaan.
Berbeda itu tidak alami. Sayangnya persis sama juga tidak alami!
Semua yang persis sama tidaklah alami. Lihatlah diri kita, semua memiliki keunikan masing-masing. Kalau kita semua sama, maka kita justru menjadi lemah. Kalau semua daun warnanya sama, dunia akan membosankan.
Jadi bagaimana? Ini solusinya : kita menyukai yang sedikit berbeda!
Daun yang beragam namun memiliki kesamaan. Seni yang beda namun dalam kelompok jenis yang sama. Musik beda namun dalam genre yang sama. Praktisnya, yang suka musik rap tidak suka musik jazz, demikian pula sebaliknya. Namun yang suka rap mungkin masih bisa menerima pop, demikian pula yang suka jazz masih mentolerir pop. Karena musik pop seakan di tengah-tengah, menjembatani rap dan jazz yang ekstrim berseberangan.
Jadi, alih-alih kita berpikir beda, maka sebaiknya kita pakai ini saja : BERPIKIR PLUS. Sebuah cara berpikir lebih atau berpikir tambah.
Think Plus.
Berpikir tambah menuntut cara yang sama sulitnya dengan berpikir beda. Dalam berpikir plus mula-mula kita harus mampu melihat sisi positif dari pendapat orang lain, lalu kita tambah pendapat itu agar lebih sempurna. Tambahan ini bisa berupa sesuatu yang memperkuat efek positif dari pendapat orang lain itu, atau berupa sesuatu yang menutupi kelemahannya. Berpikir plus ini ibarat bermain catur dimana kita harus meneruskan langkah yang sudah diambil orang lain. Kita biarkan langkah yang sudah diambil (karena itu hak dia misalnya), kalau langkah itu bagus maka kita tambah dengan langkah yang lebih menajamkan untuk menyerang, namun bila langkah itu lemah maka kita tambah dengan langkah memperkuat posisi sebagai antisipasi. Berpikir plus adalah menambah dari sesuatu yang sudah ada agar menjadi semakin berkualitas.
Lihatlah kembali desain komputer Apple, sebenarnya tidak secara radikal berbeda dengan komputer lainnya. Masih terlihat komputer, bukan? Apple masih waras untuk menciptakan barang baru yang tidak terlalu aneh, karena aneh bisa berakibat ditolak pasar. Mobil juga ada berjenis-jenis, tapi masih punya karakteristik sama. Artinya, bahkan desain yang beda - dan terbukti diterima pasar - pun ternyata tidak bisa lepas dari kesamaan. Bayangkan kalau Anda bikin komputer dengan bentuk dinosaurus atau mobil dengan bentuk mentimun, mungkin hanya sedikit orang yang akan memakainya, alias Anda hanya akan diterima kalangan eksentrik. Saya jadi ingat kisah sepeda motor skuter (Scooter) Vespa. Itu adalah desain sepeda motor radikal oleh seorang desainer pesawat terbang. Walhasil, desain skuter mendahului jamannya. Selama 50 tahun dunia sepeda motor didominasi oleh jenis sepeda motor bebek. Pengguna skuter masuk kelompok eksentrik. Hingga akhir-akhir ini barulah desain skuter mulai mempengaruhi motor bebek yang kian lama kian menjadi desain bebek matic. Demikian pula dengan Anda di perusahaan, kalau Anda betul-betul radikal berbeda, maka Anda akan menjadi kelompok minoritas di pojok dan harus menunggu angin berubah agar muncul ke permukaan. Itupun syukur-syukur kalau arah angin memang akan berubah.
Berpikir plus. Tambahin pendapat orang lain agar menjadi lebih sempurna. Letak ‘berpikir beda’ kita tempatkan pada kemampuan menemukan hal yang dapat menambah kesempurnaan usul orang lain.
Saya kutip di sini sebuah cerita yang disampaikan Stephen Covey, penulis buku Seven Habits. Suatu ketika saat memberikan konsultasi, Covey melihat suatu kejadian di sebuah kantor dimana pimpinannya sangat otoriter. Banyak karyawannya tidak puas, dan kebanyakan membicarakan yang buruk tentang si bos itu. Namun ada seorang karyawan, katakanlah namanya Ben, mempunyai sikap berbeda dengan rekannya yang lain. Ben adalah orang yang pro aktif. Ketika rekan-rekannya menjauhi pimpinan tersebut, Ben justru berusaha mendukung dengan cara yang positif. Setiap tugas yang diberikan kepada Ben dikerjakan dengan baik. Lebih jauh dari itu Ben selalu ‘menambah’ dengan analisis tambahan yang ternyata memang diperlukan oleh pimpinan. Ben senantiasa berpikir plus, memberikan lebih dari yang diminta. Lama-kelamaan pimpinan tersebut makin percaya dan makin bergantung kepada Ben. Kalau biasanya dia memutuskan sendiri, maka kini dia meminta pertimbangan dari Ben. Beberapa tahun kemudian Ben menggantikan bos tersebut untuk memimpin perusahaan. Dalam cerita itu tampak bahwa walaupun mungkin Ben tidak setuju seperti rekan lainnya, namun dia bertindak pro aktif dan menggunakan cara berpikir plus untuk mendukung pimpinannya. Dengan menggunakan sikap pro aktif berarti dia memberdayakan kecerdasan emosinya (EQ), dengan berpikir plus berarti menggunakan kecerdasan intelektualnya (IQ), dan dengan tetap mendukung pimpinannya berarti dia menggunakan kecerdasan powernya (PQ).
Berpikir plus. Itulah usul saya bila Anda sekarang adalah bawahan yang masih senang di tempat Anda bekerja sekarang. Kalau Anda ternyata seorang bos yang tidak punya atasan? Ya bebas saja silahkan menurut Anda. Untuk level bos, Anda bebas untuk berpikir beda atau bahkan tidak berpikir sama sekali.
Source : Sepia Institute - Khairul
October 1, 2006 - Filed under: Kecerdasan Emosi, Kecerdasan Power, Kecerdasan Intelektual, Kiat, Topik Personal
life is beautiful …
let’s make harmony…
for a brighter future…
No comments:
Post a Comment